Rabu, 29 Agustus 2012

Ke Syurga dengan Angkot


Tidak bisa dipungkiri bahwa angkutan kota atau lebih akrab dengan sebutan “angkot” merupakan salah satu kendaraan umum yang menjadi idola bagi sebagian masyarakat di sekitar kita. Kehadirannya senantiasa dinanti, dari pagi hingga malam. Dari sudut daerah hingga ke sudut daerah lainnya. Angkot menjadi idola bukan karena fasilitasnya yang mewah atau kursinya yang empuk, tapi karena jasanya yang bersedia mengantarkan para penumpang ke tempat tujuan dengan bayaran yang relatif murah. Yah, angkot telah menjadi idola tanpa harus berpenampilan “wah”!

Jika kita melihat lebih dalam, angkot tidak sekedar mengantarkan tapi juga memberikan kekayaan pengalaman untuk disikapi. Dari pengalaman yang menjengkelkan, menyenangkan bahkan mengharukan. Disinilah kita bisa menambah khasanah kearifan atas diri kita, dengan mengambil hikmah yang berserakan dimana ia ditemui, tapi jika kita menganggap hal itu biasa atau bahkan tak peduli, maka semua pengalaman itu menguap begitu saja tanpa kesan and forgetted.

***

Hari ini, saya tertegun dengan berbincangan singkat kami (baca: saya , bapak supir dan salah satu penumpang lainnya). Bukan berbincangan soal waktu dan uang setoran yang kami bicarakan disini, atau soal kondisi Kota Jakarta yang banjir belakangan ini, tapi kami bicara soal syurga. Ya Syurga… 

Saat itu, saya duduk di jok depan, dan mencoba menawarkan beberapa permen ke bapak supir.
“Bapak mau permen?” ucapku, walau terkesan basa basi (*atau memang basa basi :p )

“Boleh Mba, ngantuk!” balas pak supir.

Sejenak saya perhatikan suasana angkot, ada 4 orang di jok belakang. Dua orang wanita setengah baya, seorang ibu dan seorang bapak.  

“Mba, dari Harum ya? Abis belajar, Mba?“ tanya pak supir memecahkan perhatian. Wajar jika pak supir bertanya demikian, karena saya tadi memberhentikan angkot tepat di depan Harum, salah satu lembaga pendidikan Bahasa Arab di Jakarta Utara.

“Oh iya, Pak.“ jawab seadanya, lalu saya kembali bertanya “ Bapak asli Jakarta? “

“Bukan, Mba. Saya dari Bantul. Saya di Jakarta sejak tahun 1998. Dari pertama saya di jakarta, pekerjaan saya nggak berubah. Supir angkot! Haha…. Maklum Cuma tamatan SD. Tapi Alhamdulillah, bisa kasih makan istri dan anak-anak. Yang pentingkan halal ya, Mba?!” ungkap pak supir, antara bertanya dan menegaskan. “Dulu pernah ada teman sekampung yang nawarin kerja, Mba. Klo dari penghasilan mah ya lebih enakan disana. Awalnya saya ragu, Mba… Itu pekerjaan halal apa nggak ya? Soalnya hotel tempat dia kerja itu ada tempat untuk orang-orang pada minum, main judi. Akhirnya saya lebih memilih untuk tetap menjadi supir. Saya nggak mau anak dan istri saya terhalang masuk syurga karena saya kasih uang yang tidak halal. Ya, nggak, Mba?“

Belum sempat saya meng-iyakan, tiba-tiba ibu yang duduk tepat di belakang supir pun masuk dalam perbincangan kami.

“Haha… Pak.. Pak! Kadang saya suka bertanya, apa layak orang seperti kita ini masuk syurga? Sholat aja ala kadarnya, puasa cuma di bulan puasa, mau sedekah cari yang recehan. Gimana tu, Mba? Apa layak masuk syurga?”

Hah? Jujur, kaget diberikan pertanyaan seperti itu! Sebuah pertanyaan yang saya sendiri pun tidak tahu, "Apakah sudah layak kita masuk syurga? Dengan amalan ala kadarnya?" Bagiku ini bukan sekedar pertanyaan tapi inilah sebuah tazkiroh yang didapatkan tidak di dalam masjid atau ma’lis, tapi di atas jok angkot. Begitu menusuk.

Beberapa menit saya terdiam tanpa kata, namun sapaan pak supir kembali mengingatkan, bahwa mereka tidak sekedar bertanya. Ada sebersit keseriusan dalam wajah mereka. Tapi saya tetap diam! Akal ini berjelajah mencari jawaban dan kalimat yang pas untuk diungkapkan. 

“Ya Tuhan, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah segala urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha: 27)

“Syurga itu punya banyak pintu, Bu. Ada pintu untuk orang yang menjalankan shalat, ada pintu untuk orang yang rajin berpuasa, ada pintu untuk orang berzakat dan senang bersedakah, ada juga pintu untuk orang yang rajin berwudhu.” sedikit penjelasan saya, ditengah pengharapan bahwa mereka mengerti.

“Lha, kita masuk lewat pintu apa donk? Haha… ” tanya pak supir.

“ Haha.. tenang, Pak. Rasulullah pernah bilang ‘Barang siapa memberi nafkah isterinya di jalan Allah, maka akan dipanggil dari pintu surga’, bahkan ada sahabat rasul yang disebut ahli syurga hanya karena ia memiliki kebiasaan memaafkan kesalahan saudaranya sebelum ia tidur. Jadi, banyak jalan menuju syurga. Nah, tinggal kita pilih deh, kita ke syurga mau dengan apa? Ya nggak, Bu? “ kali ini berharap mendapat dukungan dari ibu dibelakang pak supir =D

Perbincangan kami pun terus berlanjut, hingga tiba di perempatan jalan kramat jaya, tempat dimana saya turun dan melanjutkan perjalanan dengan angkot lain. Dan kembali diri ini dibuat tertegun dengan perkataan pak supir, saat hendak turun dan berusaha memberikan ongkos sebagaimana layaknya kita selesai memanfaatkan jasa angkot.

“Udah… Udah, Mba. Enggak usah. Terima Kasih lho.. tadi obrolannya. Oh ya, ama permennya :)”

“Lho.. Pak. Ini hak bapak lho..” ungkap saya rada memaksa, tidak tega rasanya.. karena sejak tadi isi angkot tidak lebih dari 5 orang penumpang dan jarak mereka pun dekat-dekat. Entahlah, apakah uang setoran hari ini sudah tertutupi atau belum? Saya hanya ingin memberikan hak nya, ya itung-itung untuk menutupi kekurangan uang setoran jika memang belum cukup.

Namun, saya cukup kaget dengan perkatan beliau,“Mba… Udah ongkosnya diambil aja! Saya kan juga pengen masuk syurga, semoga angkot ini bisa mengantarkan saya ke syurga”

‘SAYA JUGA KAN PENGEN MASUK SYURGA. SEMOGA ANGKOT INI BISA MENGATARKAN SAYA KE SYURGA’ kalimat itulah yang membuatku terkesima. Walau entah seberapa besar kadar penjiwaan mereka masing-masing. Biarlah itu soal diri mereka dengan Allah swt. Yang jelas, pengalaman di angkot hari ini adalah perjalanan ruhani yang mengharukan.

Maka jadikanlah shalat dhuha, shalat witir, qiyamullail kita, shaum sunnah, shodaqoh, birul walidain menjadi amalan istimewa kita, yang tatkala kita menghadap Allah swt, setiap pintu di surga memanggil kita agar berkenan masuk melalui pintunya.

Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya 70 ribu atau 700 ribu dari umatku masuk surga. Sebagian dari mereka saling berpegangan dengan sebagian yang lain. Yang pertama di antara mereka tidak mau masuk sebelum yang terakhir di antara mereka masuk. Wajah mereka bagaikan bulan purnama dan bintang yang terang benderang di langit”. (H.R Muslim).

MasyaAllah... Semoga kita termasuk yang 70 ribu atau 700 ribu tersebut, dan semoga kita tak hanya dipertemukan dengan orang-orang yang kita cintai di dunia ini saja, tapi juga dipertemukan kembali dengan mereka pada hari akhir, saat dimana kita bisa saling bergandengan tangan dan berjalan bersama- sama menuju Pintu Surga. Aamiin.. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar