Senin, 18 Januari 2016

Berjumpa


Ku ingin berjumpa sebelum terjaga
Sekekap saja
Dalam gelombang alpha
Kusebut namamu
Senyumku pun mengembang

Tak apa meski setelah itu harus terjaga
Tapi bayangmu akan tertinggal dipelupukku
Wajahmu yang bersahaja
Tegap tubuhmu dengan balutan jubah merah
Aku menengadah
Membandingkanmu dengan purnama
Ah... kau lebih mempesona

Sekejap saja
Biarkan mataku dan matamu saling bertemu
Meski akan ada air mata

Sekejap saja
Katakan sepatah dua kata
Aku ingin mendengar suaramu

Sekejap saja
Aku rindu
Meski sering kusebut namanu
Tapi itu belum cukup untukku

Pantaskah?
Sedang sunnah-ku masih belum seberapa....

*repost dari FB
Salemba, 060116

Jumat, 16 Januari 2015

Ribuan Tahun yang Lalu



Ribuan tahun yang lalu
Saat penduduk Thaif melemparimu batu 
Hingga lemah, bersimbah darah
Malaikat Jibril menawarkan untuk mengguncangkan gunung
Sebagai balasan atas sakitmu
Tapi engaku tidak mau

Ribuan tahun yang lalu
Saat Aisyah ra meminta didoakan olehmu
Engkau telah mendoakan kami terlebih dulu
Dalam sholat lima waktumu
Ruku' dan sujudmu hingga subuh
Ada tangis yang tak henti untuk kami
"Ya, Allah. Ampunkanlah dosa-dosa umatku," katamu.

Ribuan tahun yang lalu
Siang dan malam
Engkau risaukan keselamatan kami
Dari tipuan duniawi & kejahatan yang tidak manusiawi
Hingga kehidupan diakhirat nanti

Ribuan tahun yang lalu
Saat engkau mengatakan ingin sekali bertemu dengan saudara-saudaramu
Hingga para sahabat cemburu, "Bukankah kami ini adalah saudara-saudaramu?"
"Kalian adalah sahabatku. Saudaraku adalah umatku yang telah beriman 
tapi belum pernah melikatku."
Rindumu pada kami, diatas sahabatmu sendiri

Ribuan tahun yang lalu
Engkau memohon pada Sang Pengatur Kehidupan
Agar rasa sakit sakaratul maut yang dirasakan umatmu
dilimpahkan seluruhnya kepadamu

Ribuan tahun yang lalu
Engkau tetap mengkhawatirkan kami
Padahal engkau memiliki istri, anak dan sahabat yang engaku cintai
Tapi diakhir hayatmu, justru kami yang engkau panggil dengan lirih
Ummati... Ummati.. Ummati...

Ribuan tahun yang lalu
Engkau cintai kami hingga kini
Melebihi istri, anak, dan sahabatmu sendiri
Bahkan melebihi dirimu sendiri
Ya Rasulullah... Bagaimana kami membalas cintamu ini


*Jumu'ah Mubarokah, 25 Rabiul Awal 1436 H

Jumat, 09 Januari 2015

Beginilah Seharusnya Pecinta



Tsauban, seorang hamba sahaya (budak yang dibebaskan oleh Rasulullah SAW). Tubuhnya kurus, semakin hari  semakin kurus dan pucat, wajahnya menandakan kesedihan yang mendalam. Kondisinya membuat para sahabat khawatir. Beberapa sahabat mencoba untuk bertanya, tapi ia selalu mengelak. Hingga pada suatu kesempatan Rasulullah SAW bertanya, " Wahai Tsauban, apa yang menyebabkan kamu seperti ini. Apakah kamu sakit?"

"Tidak, ya Rasulullah. Saya sesungguhnya tidak sakit. Tubuh ini lemah karena senantiasa memikirkanmu. Karena cinta yang tak tertahankan. Saya mencintaimu, ya Habiballah. Cinta yang melebihi cinta pada diri dan anak sendiri. Saat malam tiba dan saya ada di rumah, saya tidak sabar menanti subuh untuk segera bertemu dengamu. Tidak bertemu denganmu sekejap saja, saya dirundung rasa rindu," ungkap Tsauban.

"Kalo begitu, datanglah saat engkau merasa rindu."

"Ya Rasulullah, di sini saya mudah saja menemuimu. Sholat dibelakangmu, hadir dalam majlismu. Rindu saya akan terobati. Kapanmu saya ingin bertemu denganmu, engkau akan membukakan pintu. Namun, ketika saya mengingat akhirat, saya takut ya, Habiballah. Saya takut tidak dapat melihatmu disana. Saya sadar, engkau pasti akan ditempatkan di surga tertinggi yang diperuntukkan bagi para nabi. Sedangkan saya? Saya Tsauban... Jika saya masuk surga, saya takut tidak dapat melihatmu karena berbeda surga denganmu. Jika saya masuk neraka, saya sangat takut karena tidak dapat melihatmu untuk selama-lamanya."

Karena memikirkan hal ini, Tsauban tidak dapat tidur sepanjang malam, makanan dan minuman terasa hambar. Nafsu makannya hilang. Air matanya terus mengalir karena takut tidak dapat bersama kekasih Allah SWT di akhirat kelak. Baginya, surga dengan berbagai kenikmatan didalamnya tidak berarti jika tidak dapat melihat wajahnya. Wajah Rasulullah SAW... Wajah lelaki terbaik sepanjang masa. Wajah yang senantiasa memancarkan ketenangan bagi yang menatapnya. 

Rasulullah SAW terdiam, tidak menjawab sedikit pun hingga turunlah ayat ini (An-Nisa: 69),

"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-(Nya) mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para Siddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”



Lalu Rasulullah bersabda, "Engkau bersamaku di surga, Insya Allah."

Subhanallah, beginilah seharusnya pecinta. Ia hanya ingin bersama. Ya, bersama. Bersama dengan yang ia cinta. Bahkan surga pun akan terasa hambar saat kebersamaan itu tidak ada. 

Lihatlah bagaimana pasangan suami istri itu memaknai surga dalam rumahnya. Apakah karena rumahnya yang mewah? Suami yang tampan dan perkasa? Atau istrinya yang cantik jelita? Makanan yang melimpah? Cukupkah itu semua? Akankah itu semua menjadi surga jika kekasih belahan jika tidak ada di rumah? Akankah itu semua menjadi surga jika kita tidak dapat melihat wajah dan mendengar suaranya?

Lihatlah bagaimana pasangan yang baru kehilangan suami atau istri yang ia cinta. Saat belahan jiwa tidak lagi bersama. Air matanya tumpah ruah.

Beginilah seharusnya, pecinta. Surganya bukan karena harta, wajah, apalagi pujian-pujian romantika yang terkadang membuatnya lupa dengan Sang Pencipta. 

Ah, saya begitu cemburu pada Tsauban ra. Ia pernah bersama dengan lelaki yang begitu mulia, lelaki terbaik sepanjang masa. Menatap wajahnya, mencium tangannya, merasakan pancaran ketenangan dalam dirinya, tidak hanya di dunia tapi hingga ke langit sana. Sedangkan saya? Saya hanya mendengar dan membaca dari buku-buku yang menceritakan tentangnya, tentang cintanya, tentang pecintanya.

Awal tahun lalu, di depan pusaramu. Air mata itu tidak dapat lagi dibendung. Saya biarkan ia pecah, memohon pertemuan denganmu ya, Habiballah. Saya ingin menatap wajahmu. Sebentar saja... sebentar saja. Agar dapat kurasakan cinta sebagaimana Tsauban mencintaimu. Cinta yang mengantarkan pencinta bersama dengan yang ia cinta, selamanya, hingga ke surga.


*Jumu'ah mubarakah, 18 Rabiul awal 1436 H  Dua pekan setelah kajian bersama Ustz. Halimah @ Masjid BI


Kamis, 23 Oktober 2014

Dilangit yang sama



Dilangit yang sama...
Kami mencoba melepaskan kebanggaan duniawi
Memohon ampun atas dosa-dosa yang selama ini telah menyimpangkan jutaan kilometer jarak dari Sang Ilahi
Memohon ampun atas dosa-dosa yang telah berkarat mengotori hati
Dilangit yang sama...
Kami tidak rela membiarkan sedetik pun hari yang diistimewakan ini
Mencoba berserasi dengan frekuensi Ilahiyah
Dilangit yang sama...
Jutaan milyar malaikat menyirami berkat
Pada jiwa yang menggetarkan bibir, melepaskan dzikir
Dilangit yang sama...
Kami berharap panas terik matahari tidak mempengaruhi percakapan kami dengan Sang Pengatur Mahatari
Mengingat pesan Nabi, bahwa diantara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari ini
Bahwa sebaik-baik do’a adalah hari ini
Dilangit yang sama...
Kau di Arafah, aku di Jakarta

*Jumu’ah mubarakah, 9 Dzulhijjah 1435 H

Wakil rakyat yang katanya…...



Wakil rakyat yang katanya terhormat
Tidak bisakah Anda menyampaikan pendapat dengan beradab?
Tanpa jari telunjuk yang Anda angkat
Atau semua jari yang Anda gunakan untuk memijat
Wakil rakyat yang katanya amanat
Janganlah bersikap seperti kanak-kanak
Berteriak-teriak hingga serak
Seolah-olah kami tak melihat
Wakil rakyat yang katanya memikat
Kami menyaksikanmu dari layar kotak
Tidurmu dalam sidang rakyat
Atau rusuhmu dalam menyampaikan pendapat
Wakil rakyat yang katanya pintar bermartabat
Kami tertawa dalam sekat
Menyaksikan para pelawak belajar berpolitik
Dan politikus belajar menjadi pelawak
Wakil rakyat yang katanya bukan pelawak
Semalam kami terperanjat
Menahan tawa tapi Anda sangat kocak
Menghilangkan palu sidang karena perbedaan pendapat
Wakil rakyat yang katanya terhormat
Salam hormat dari kami
Semoga kelak Anda tidak terpilih lagi
Terima kasih

*2 Oktober 2014
Pasca tragedi hilangnya palu pimpinan sidang

Kamis, 21 Februari 2013

Rasa yang Seharusnya Belum Ada  

"Saya diminta menyediakan secangkir teh untuknya di ruang tamu, itulah pertama kali kita bertemu. Dan nyyesshh, saya ngerasa falling in love," ungkap Rena (*bukan nama sebenarnya. Gila aja klo pake nama beneran. Bisa dipentung pake martil dah...).

Rena sedang  ta'aruf (saling mengenal menuju  pernikahan) dengan seorang ikhwan* kala itu. (*Ya iyalah... masa ama akhwat* !?#^). Sebelumnya mereka belum pernah bertemu. Sebagaimana pada umumnya proses ta'aruf, diawali dengan pertukaran biodata. Jika tidak ada kendala, berlanjut pada pertemuan untuk saling mengenal lebih jauh,  tentang pribadi masing-masing, keluarga, pekerjaan, visi dan misi pernikahan dsb yang kira-kira perlu untuk ditanyakan. Untuk beberapa orang, proses tersebut cukup satu kali pertemuan dan beberapa yang lain bisa dua kali, tiga kali atau sepuluh kali (*ada gitu yang ampe 10x? Ckckckck...)

"Setelah saya memberikan secangkir teh, saya memutuskan untuk tetap duduk di ruang tamu. Dia datang bersama temannya, dan saya ditemani mama.  Beberapakali saya melihat wajahnya, Chi... Speechless! Jadi enggak konsen dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan lupa dengan pertanyaan-pertanyaan yang mesti saya ajukan," cerita Rena, wajahnya terlihat kemerah-merahan.

Sesaat saya berpikir, kenapa ini orang sebegitu tsiqoh-nya (percaya) bercerita tentang hal se -privacy ini pada saya? Tidakkah ia berpikir bahwa sewaktu-waktu saya bisa menulisnya diblog? (*Oh, iya. Saya lupa, klo ia tidak tahu bahwa saya punya blog, he he he...). Atau mungkin kini saya tidak segarang dulu, yang bisa ceramah abis saat ada akhwat berani cerita tentang kesukaannya pada pria yang jelas-jelas belum muhrimnya? Entahlah...

"Sekitar tiga jam kita saling bertukar informasi, tapi kok saya ngerasa masih butuh informasi lebih, ya? Dan diakhir pertemuan, kita dipersilahkan untuk mengadakan pertemuan kembali jika memang masih ada yang perlu digali. Dah gitu, ikhwannya minta no. hp, Chiaaa..., so sweet g sih... " ungkap Rena yang segera saya potong, "Terus, kamu kasih?"

"Iya, emang kenapa?" ekspresi Rena pun langsung berubah.
"Untuk apa tukeran no. hp? Kan sudah dipersilahkan klo ada informasi yang masih perlu digali silahkan adakan pertemuan lagi. Bukankah itu lebih ahsan (baik), karena akan ditemani dengan perantara? Terkait komunkasi lebih lanjut kan bisa hubungi perantara?" jawab saya. Lebih tepatnya menjawab pertanyaan dengan pertanyaan :p

Beberapa hari kemudian. "Chia... ikhwannya sms. Dia tanya tentang kegiatan Rena setelah pulang kerja," cerita Rena menggebu-gebu.

"Kamu balas?" tanya saya rada malas sebenarnya. (*semoga bukan jealous ya, wkwkwk...) 

"Iya. Rena bales ampe 5 message, diceritain aja mandi setelah pulang kerja, terus ngisi TPA, bla... bla... bla..."

Eit, buset dah..., celetuk saya dalam hati. "Terus, dia bales?" kepo juga saya yah :p

"Dia bales gini, 'Padat juga :p Jangan lupa jaga kesehatan ya, Ukh. :)' Chia.... Rena deg deg-an... serius Rena deg deg-an... Dia itu baik banget, perhatian, bla... bla... bla..."

Yah, penyakit dah..., celetuk lagi dalam hati. 

Beberapa bulan kemudian. Tak ada kabar, tak ada cerita... Saya pun tak ada inisiatif untuk menggali tentang kisahnya. Hingga suara tanda sms masuk pun meminta saya untuk memindahkan jari-jari di atas keyboard menuju hp yang terletak  beberapa centi meter dari mouse.

Chia... proses yang kemarin batal. Alasannya terkesan dibuat-buat deh... Marah, kecewa,, sebel, kesel, aarrgghhh... Uda beberapa hari ini Rena nangis enggak jelas, pengen cerita tapi enggak sanggup ngomongnya. Sakit chi... sakit....

Kau tau, kenapa sakitnya begitu dalam menghujam sampai ke ulu hati? Bahkan ada airmata yang keluar tanpa bisa dikendali? 

Karena ada rasa yang seharunya belum ada. Ada benih-benih yang kau biar tumbuh, padahal  belum saatnya. Ada getar yang kau biarkan berselayar dalam dada. Ada harapan yang kau taruh pada wadah yang salah. 

Sahabat, pelajarilah lebih dalam lagi. Namanya saja ta'aruf, proses untuk saling mengenal. Klo cocok ya lanjut, klo tidak ya sudah. Jadi, jangan kita jual murah kesucian jiwa untuk hal-hal yang belum pasti. Tahanlah sedemikian rupa hingga rasa itu tidak meloncat dari batasnya. hingga semuanya benar-benar pasti. Itulah sebabnya ada koridor syar'i yang harus kita taati. Agar hati ini tetap tertata rapi, hingga ketika takdir Allah SWT berkata lain, diri ini tetap tegak berdiri.

Sekali lagi, ta'aruf itu belum pasti. Maka, tetaplah jaga hati.

Selasa, 19 Februari 2013

Jilbabku...

Piranti Hati yang Retak, sebuah cerpen garapan Helvy Tiana Rosa yang disodorkan kakak mentor saat SMP dulu telah mengubah sudut pandang saya tentang jilbab. Pandangan saya saat itu, jilbab adalah pakaian wajib para siswi madrasah atau aliyah, pakaian kebesaran para ustadzah, dan para perempuan yang menanjak tua. Setelah saya bergabung dalam ekstrakuler Rohis (Rohani Islam), pandangan saya mulai berubah. Dari sanalah saya mengetahui bahwa muslimah yang baik itu adalah muslimah yang berjilbab. Sekedar tahu.Ya, sekedar tahu, tidak ada getaran atau gerakan hati yang lebih. Cukup tahu saja... 

Dalam cerpen tersebut ada dialog antara Mia (tokoh utama) dengan papanya yang saya garis bawahi.
“Kalau dilarang, itu tandanya Papa masih sayang. Jangan malu-maluin Papa. Bagaimana nanti dengan masa depan kamu, mau kerja dimana? Pesantren? Mau nikah sama siapa? Guru ngaji yang di kampung-kampung?”

"Papa kok sinis gitu..., banyak kok muslimah berjilbab jadi usahawati, nikah dengan insinyur atau dokter… Kan semua ditangan Allah. Nikah dengan guru ngaji di kampung, bagi Mia nggak apa, yang penting dia bisa ngajak ke syurga…”

Eits, yang saya garis bawahi bukan nikahnya ya, tapi syurga. Ya, syurga...

Sebegitu keukeuhnya Mia ingin berjilbab, walau ia harus menghadapi kemarahan orang tuanya sendiri. Tanggapan orang-orang tentang masa depan para jilbaber yang suram, jodoh yang mungkin kurang menghasilkan. Baginya tak masalah, asalkan semua itu bisa mengantarkannya ke syurga. Tempat dimana semua wanita menjadi bidadari yang cantik jelita, dimana saat semua kenikmatan didunia ini dikumpulkan maka tidak akan pernah menyamai kenikmatan syurga..., tidak akan pernah! Hati saya pun mulai tergetar....

Saat keputrian, kakak mentor membacakan sebuah hadist. Rasulullah SAW bersabda, "Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat. Pertama, orang -orang yang membawa cemeti seperti ekor sapi yang mereka pergunakan untuk memukul orang lain. Kedua, wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, cenderung tidak taat, berjalan melenggak lenggok, rambut mereka seperti pucuk onta, mereka tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium bau syurga padahal bau syurga tercium dari jarak sekian." (HR. Muslim)

What? Nyium aja g? Hati saya semakin tergetar...

Semakin sering mengikuti kegiatan Rohis dan menghadiri mentoring keputrian, semakin sering hati saya bertengkar.

Putih   : "Tuh, apa kamu enggak malu pake jilbab pas ngaji doang?"
Hitam  : "Biarinlah nama juga lagi belajar..."
Putih   : "Masih inget enggak waktu kakak mentor kemarin bilang? Enggak bisa nyium bau syurga lho... Katanya mau masuk syurga..."
Hitam  : "Nanggung kali klo kamu pake sekarang. Uda kelas 3, bentar lagi juga  SMA. Buang-buang uang aja beli baju seragam baru, paling cuma beberapa kali doang dipakenya."
Putih   : "Lha... kan baju putihnya masih bisa dipake untuk SMA, paling beli rok biru doang. Kan ada celengan, cukup kok klo mau dipecahin mah."
Hitam  : "Uda entar aja pas SMA, nanggung."

Aaarrrghhh.......

Menjelang kelulusan atau lebih tepatnya beberapa hari sebelum foto untuk ijazah SMP, saya mengutarakan niat untuk segera mengenakan jilbab. Saat itu kakak mentor pun bertanya, (mungkin maksudnya nguji kali ya. Sotoy :D), "Engga nanggung pake sekarang?"
"Enggak, kak. Sebentar lagi kan foto ijazah. Saya enggak mau nanti foto dalam kondisi tidak menutup aurat, foto itu akan dilihat semua orang yang melihat ijazah saya. Meski saat SMA saya sudah pake jilbab, tapi mereka bisa melihat foto SMP saya yang tidak berjilbab. Saya malu...." 

Ya... saya malu saat mendahukukan kata nanggung dibandingkan mengikuti perintah Allah SWT. Saya malu pada syurga, tempat dimana saya kelak akan bercanda ria disana...


NB: Jazakillah khair untuk Noey... yang telah memberikan baju seragamnya untuk saya. Dan ahlan wa sahlan untuk teman-teman yang memutuskan untuk berjilbab.  Love u all coz Allah SWT :)