Tidak bisa dipungkiri bahwa angkutan kota atau lebih akrab dengan
sebutan “angkot” merupakan salah satu kendaraan umum yang menjadi idola
bagi sebagian masyarakat di sekitar kita. Kehadirannya senantiasa
dinanti, dari pagi hingga malam. Dari sudut daerah hingga ke sudut
daerah lainnya. Angkot menjadi idola bukan karena fasilitasnya yang
mewah atau kursinya yang empuk, tapi karena jasanya yang bersedia
mengantarkan para penumpang ke tempat tujuan dengan bayaran yang relatif
murah. Yah, angkot telah menjadi idola tanpa harus berpenampilan “wah”!
Jika
kita melihat lebih dalam, angkot tidak sekedar mengantarkan tapi juga
memberikan kekayaan pengalaman untuk disikapi. Dari pengalaman yang
menjengkelkan, menyenangkan bahkan mengharukan. Disinilah kita bisa
menambah khasanah kearifan atas diri kita, dengan mengambil hikmah yang
berserakan dimana ia ditemui, tapi jika kita menganggap hal itu biasa
atau bahkan tak peduli, maka semua pengalaman itu menguap begitu saja
tanpa kesan and forgetted.
***
Hari ini, saya tertegun
dengan berbincangan singkat kami (baca:
saya
, bapak supir dan salah satu
penumpang lainnya). Bukan berbincangan soal waktu dan uang setoran yang
kami bicarakan disini, atau soal kondisi Kota Jakarta yang banjir
belakangan ini, tapi kami bicara soal syurga. Ya Syurga…
Saat itu,
saya
duduk di jok depan, dan mencoba menawarkan beberapa permen ke bapak supir.
“Bapak mau permen?” ucapku, walau terkesan basa basi (*atau memang basa basi :p )
“Boleh Mba, ngantuk!” balas pak supir.
Sejenak
saya
perhatikan suasana angkot, ada 4 orang di jok belakang. Dua
orang wanita setengah baya, seorang ibu dan seorang bapak.
“Mba,
dari Harum ya? Abis belajar, Mba?“ tanya pak supir memecahkan
perhatian. Wajar jika pak supir bertanya demikian, karena
saya
tadi
memberhentikan angkot tepat di depan Harum, salah satu lembaga
pendidikan Bahasa Arab di Jakarta Utara.
“Oh iya, Pak.“ jawab seadanya, lalu saya kembali bertanya “ Bapak asli Jakarta? “
“Bukan,
Mba. Saya dari Bantul. Saya di Jakarta sejak tahun 1998. Dari pertama
saya di jakarta, pekerjaan saya nggak berubah. Supir angkot! Haha….
Maklum Cuma tamatan SD. Tapi Alhamdulillah, bisa kasih makan istri dan
anak-anak. Yang pentingkan halal ya, Mba?!” ungkap pak supir, antara
bertanya dan menegaskan. “Dulu pernah ada teman sekampung yang nawarin
kerja, Mba. Klo dari penghasilan mah ya lebih enakan disana. Awalnya
saya ragu, Mba… Itu pekerjaan halal apa nggak ya? Soalnya hotel tempat
dia kerja itu ada tempat untuk orang-orang pada minum, main judi.
Akhirnya saya lebih memilih untuk tetap menjadi supir. Saya nggak mau
anak dan istri saya terhalang masuk syurga karena saya kasih uang yang
tidak halal. Ya, nggak, Mba?“
Belum sempat saya meng-iyakan, tiba-tiba ibu yang duduk tepat di belakang supir pun masuk dalam perbincangan kami.
“Haha…
Pak.. Pak! Kadang saya suka bertanya, apa layak orang seperti kita ini
masuk syurga? Sholat aja ala kadarnya, puasa cuma di bulan puasa, mau sedekah cari yang recehan. Gimana tu, Mba? Apa layak
masuk syurga?”
Hah? Jujur, kaget diberikan pertanyaan
seperti itu! Sebuah pertanyaan yang saya sendiri pun tidak tahu, "Apakah
sudah layak kita masuk syurga? Dengan amalan ala kadarnya?" Bagiku ini bukan sekedar pertanyaan tapi
inilah sebuah tazkiroh yang didapatkan tidak di dalam masjid atau
ma’lis, tapi di atas jok angkot. Begitu menusuk.
Beberapa menit saya
terdiam tanpa kata, namun sapaan pak supir kembali mengingatkan,
bahwa mereka tidak sekedar bertanya. Ada sebersit keseriusan dalam wajah
mereka. Tapi saya tetap diam! Akal ini berjelajah mencari jawaban dan
kalimat yang pas untuk diungkapkan.
“Ya Tuhan, lapangkanlah
dadaku, mudahkanlah segala urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku,
agar mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha: 27)
“Syurga itu
punya banyak pintu, Bu. Ada pintu untuk orang yang menjalankan shalat,
ada pintu untuk orang yang rajin berpuasa, ada pintu untuk orang
berzakat dan senang bersedakah, ada juga pintu untuk orang yang rajin
berwudhu.” sedikit penjelasan
saya, ditengah pengharapan bahwa mereka
mengerti.
“Lha, kita masuk lewat pintu apa donk? Haha… ” tanya pak supir.
“
Haha.. tenang, Pak. Rasulullah pernah bilang ‘Barang siapa memberi
nafkah isterinya di jalan Allah, maka akan dipanggil dari pintu surga’,
bahkan ada sahabat rasul yang disebut ahli syurga hanya karena ia
memiliki kebiasaan memaafkan kesalahan saudaranya sebelum ia tidur.
Jadi, banyak jalan menuju syurga. Nah, tinggal kita pilih deh, kita ke
syurga mau dengan apa? Ya nggak, Bu? “ kali
ini berharap mendapat dukungan dari ibu dibelakang pak supir =D
Perbincangan
kami pun terus berlanjut, hingga tiba di perempatan jalan kramat jaya, tempat
dimana saya turun dan melanjutkan perjalanan dengan angkot lain.
Dan kembali diri ini dibuat tertegun dengan perkataan pak supir, saat
hendak turun dan berusaha memberikan ongkos sebagaimana layaknya kita
selesai memanfaatkan jasa angkot.
“Udah… Udah, Mba. Enggak usah. Terima Kasih lho.. tadi obrolannya. Oh ya, ama permennya :)”
“Lho..
Pak. Ini hak bapak lho..” ungkap saya rada memaksa, tidak tega
rasanya.. karena sejak tadi isi angkot tidak lebih dari 5 orang
penumpang dan jarak mereka pun dekat-dekat. Entahlah, apakah uang
setoran hari ini sudah tertutupi atau belum? Saya hanya ingin
memberikan hak nya, ya itung-itung untuk menutupi kekurangan uang
setoran jika memang belum cukup.
Namun, saya cukup kaget dengan perkatan beliau,“Mba… Udah ongkosnya diambil aja! Saya kan juga pengen masuk syurga, semoga angkot ini bisa mengantarkan saya ke syurga”
‘SAYA JUGA KAN PENGEN MASUK SYURGA. SEMOGA ANGKOT INI BISA MENGATARKAN
SAYA KE SYURGA’ kalimat itulah yang membuatku terkesima. Walau entah
seberapa besar kadar penjiwaan mereka masing-masing. Biarlah itu soal
diri mereka dengan Allah swt. Yang jelas, pengalaman di angkot hari
ini adalah perjalanan ruhani yang mengharukan.
Maka jadikanlah
shalat dhuha, shalat witir, qiyamullail kita, shaum sunnah, shodaqoh,
birul walidain menjadi amalan istimewa kita, yang tatkala kita menghadap
Allah swt, setiap pintu di surga memanggil kita agar berkenan masuk
melalui pintunya.
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya 70 ribu
atau 700 ribu dari umatku masuk surga. Sebagian dari mereka saling
berpegangan dengan sebagian yang lain. Yang pertama di antara mereka
tidak mau masuk sebelum yang terakhir di antara mereka masuk. Wajah
mereka bagaikan bulan purnama dan bintang yang terang benderang di
langit”. (H.R Muslim).
MasyaAllah... Semoga kita termasuk yang 70
ribu atau 700 ribu tersebut, dan semoga kita tak hanya dipertemukan
dengan orang-orang yang kita cintai di dunia ini saja, tapi juga
dipertemukan kembali dengan mereka pada hari akhir, saat dimana kita
bisa saling bergandengan tangan dan berjalan bersama- sama menuju Pintu
Surga. Aamiin.. ^_^