Jumat, 22 Desember 2017

Musa Bin Nushair

optimisme sang penakluk Andalus


Salah satu tokoh yang memiliki peran besar dalam penaklukan dan penyebaran Islam di wilayah Maroko dan Andalus[1] adalah Musa bin Nushair. Ia adalah putra Nushair bin Abdurrahman bin Yazid, satu dari 40 orang yang ditawan Khalid bin Walid di Ayn Tamr[2]. Di antara tawanan terdapat Sirin (ayah dari Muhammad dan Khafsah), tokoh ulama tabi’in yang sangat popular, Yaser (kakek Muhammad ibn Ishaq), penulis kitab al-Maghazi, dan Kaisan (kakek dari Abu Attahiyah), pemimpin Perang Zuhd dengan syairnya yang indah pada era Khalifah Abbasiyah.



Mereka kemudian dibebaskan dan masuk Islam. Dari sisi kepribadian, tidak membutuhkan waktu yang lama bagi mereka untuk menunjukkan perubahan yang sangat mendasar; dari tokoh yang awalnya menolak Islam, menjadi tawanan, kemudian menjadi pejuang, dan melahirkan anak-anak yang menjadi tokoh dalam peradaban dunia Islam.
Musa bin Nushair lahir pada tahun 19 H (640 M). Ia termasuk tokoh tabi’in yang dibesarkan di lingkungan kekhalifahan, karena ayahnya merupakan salah satu kepercayaan Muawiyyah bin Abu Sofyan.

Musa kecil tumbuh menjadi pemuda pemberani dan cerdas. Sejak masih belia, ia sudah menunjukkan bakat kemepmimpinanya; menjabat sebagai pengurus pajak di Basrah[3],  menggantikan posisi ayahnya sebagai pejabat di Cyprus, hingga diangkat menjadi gubernur Ifriqiyah[4] oleh Abdul Aziz bin Marwan.

Awalnya, panji Islam masuk ke Ifriqiyah dibawah kepemimpinan Uqbah bin Nafi', tapi belum menancap kuat. Penduduknya, etnis Barbar memiliki sikap yang berubah-ubah. Kadang tunduk kepada Islam, kadang memberontak setiap kali ada kesempatan. Kawasan Ifriqiyah ini terus menerus dilanda kekacauan dan pemberontakan hingga Uqbah sang penakluk wilayah tersebut dibunuh.
Kemelut yang terjadi di Ifriqiyah tidak lantas membuat Musa diam. Sebagai gubernur, ia menunjukkan kepiawaiannya. Musa menganalisa kekurangan strategi pendahulunya serta mengimplementasikan analisis kebutuhan  penduduk Ifriqiyah saat itu.
Pendiri Sirah Community Indonesia (SCI), Ustadz Asep Sobari, Lc. (dalam kajian Musa bin Nushair 19-97 H: penakluk Andalusia) menjelaskan strategi-strategi yang di gunakan oleh Musa dalam meradam konflik yang terjadi, antara lain; 


  • Menaklukkan wilayah Ifriqiyah dan berikutnya Maghrib secara bertahap. Satu per satu Musa menaklukkan wilayah non Islam sambil tetap mengamankan basis yang ia tinggalkan. Penaklukan ini memang membutuhkan waktu yang lebih lama, namun wilayah yang ditaklukkan menjadi lebih stabil, sehingga meminimalisir  terjadinya pemberontakan. 
  • Musa bin Nushair menghadirkan para ulama untuk mengenalkan Islam kepada penduduk bekas kekuasaan Romawi tersebut. Hal ini dilakukan agar etnis Barbar lebih mengenal Islam dengan baik, sehingga meminimalisir terjadinya pemurtadan. Mereka pun mulai menyambut dan mencintai Islam, kemudian berbondong-bondong menyatakan syahadat, hingga akhirnya menjadi prajurit-prajurit yang siap berjuang menegakkan kebenaran. 
  • Menempatkan Thariq bin Ziyad sebagai panglima perang dalam penaklukan Andalus. Strategi ini sangat bijak, karena Musa menggabungkan etnis Barbar dengan Arab. Ia menunjukkan bahwa etnis Barbar sama dengan Arab, sehingga penduduk Barbar merasa dihormati.

Musa bin Nushair melakukan pengamatan terhadap kondisi terakhir Ifriqiyah dengan cermat dan cerdas. Lantaran kepiawaian manajerial dan militernya, ia berhasil menyelesaikan konflik dan memperluas wilayah penaklukkan hingga hampir seluruh wilayah  Afrika Utara, kecuali Ceuta.


Maka, tidaklah heran jika Ibnu Khallikan[5] mengungkapkan kepribadian Musa dengan ungkapan yang cenderung komprehensif,  “Ia seorang cerdas, berakhlak mulia, pemberani, wara’, dan penuh ketakwaan pada Allah Swt. Pasukannya tidak pernah terkalahkan sekalipun.”
 
Mengapa Musa tumbuh menjadi pemuda yang begitu matang? Karena ia memiliki visi yang sangat jauh, bahkan lebih jauh dari sekedar menaklukkan Ifriqiyah. Ia bertekad menjadi pelaku sejarah dari apa yang telah Utsman bin Affan katakan, "Konstantinopel hanya akan dapat ditaklukkan dari arah laut. Dan, jika kalian dapat menaklukkan Andalusia, niscaya kalian akan mendaptkan pahala yang sama dengan mereka yang menaklukkan Konstantinopel di akhir zaman."
 
Dari benih antusiasme serta optimismenya, Musa mampu membawa visi penaklukannya hingga ke kota-kota yang jaraknya berjauhan. Bahkan sejarah bersaksi, ia berhasil mengibarkan panji kemenangan Islam hingga ke sebrang Selat Gibraltar, Andalus. Beginilah Musa mendeklarasikan tekad dan keyakinannya. Bahkan Romawi pun menjadi target penaklukannya.


Kalau sekiranya manusia mengarahkanku, sungguh aku akan mengarahkan mereka ke kota Romawi sampai aku membukanya dengan bantuan mereka kemudian Allah akan taklukkan Romawi melalui kekuatanku, insyaAllah
(Ibn Katsir; Al-Bidayah wan Nihayah). 

Dari Musa bin Nushair, kita berkaca bahwa kemenangan Islam terdahulu bermula dari satu kata, optimisme.  Saat optimisme kemenangan hadir dalam jiwa, ia akan mendorong sang tuan untuk bergerak, bersikap, berjalan dan berkorban untuk mewujudkan harapannya. Keyakinan yang tertanam tersebut, akan menjadikan rintangan besar menjadi kecil, kesempitan dan kerumitan menjadi mudah, mengubah kegelapan menjadi cahaya.
Seorang mukmin seharusnya percaya bahwa ia terlahir untuk sebuah visi yang tidak kerdil. Dengan begitu geliatnya akan menggema mewarnai bumi bersama potensi yang dimilikinya. Beginilah optimisme Musa mengajarkan kita. 
Wallahu a’alam.

(Pernah dipublikasikan pada laman Republika.co.id pada 15 April 2017)

Sumber :
●  As-Sirjani, Raghib. Bangkit dan Runthnya Andalusia: jejak kejayaan peradaban Islam di Spanyol. 2013.      
   Jakarta; Pustaka Al-Kautsar.
● Suwaidan, Tariq. Dari Puncak Andalusia. 2015. Jakarta; Zaman.
__________
[1]Semenanjung Iberia (Spanyol, Portugis)
[2]Salah satu daerah di bagian utara Iraq
[3]Salah satu kota terbesar kedua di Iraq
[4] Wilayah Afrika Utara yang mencangkup; Libya, Tunisia, Aljazair, dan Maroko (kecuali Mesir)
[5] dikutib dari kitab Wafayat Al-A’yan dalam Dari Puncak Andalusia

Kamis, 26 Januari 2017

Katakan, "Saya terima!"

(Kebeningan hati Imam Nawawi rahimahullah)

 

  

Siapa yang tidak mengenal Imam Nawawi rahimahullah? Imam yang memiliki nama kun-yah Abu Zakaria ini memiliki nama lengkap Yahya bin Syaraf bin Husain An-Nawawi Ad-Dimayqi. Murid dari Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ashari ini lahir pada Muharram  631 H/ 1233 M di Nawa, Damaskus. Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat nama beliau, An-Nawawi Ad-Dimayqi. Beliau wafat sejak 740 tahun yang lalu, namun nama beliau masih harum sampai detik ini.

Imam Nawawi meninggalkan banyak karya ilmiah yang terkenal. Kitab-kitab beliau menjadi best seller sampai sekarang. Riayadhush Shalihin, salah satu kitab dari  empat puluhan karyanya menempati rangking kedua dari segi penyebaran dan pengkajian, hanya kalah dari satu kitab, kitabullah, Al-Qur’an. Karya beliau diterima oleh umat, ilmu beliau sangat bermanfaat. 

Beliau digelari muhyiddin (yang menghidupkan agama), namun beliau tidak menyukai gelar tersebut karena sifat tawadhu, kebeningan hatinya, “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku muhyiddin.” Menurutnya, Islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya.

Pada kata pengantar kitab Riyadhush Shalihin, beliau meminta sesuatu kepada para pembaca. Apa permintaannya? Royalti? Bukan! Lalu apa yang beliau minta kepada kita, para pembaca kitab-kitabnya? Beliau meminta kepada para pembaca untuk mendoakannya, mendoakan keluarganya, dan seluruh umat Islam yang ada. Sekilas saya bertanya dalam hati, "Apa hubungannya menulis buku dengan mendo’akan umat Islam?" Setelah saya menelusuri beberapa buku-buku yang menceritakan tentangnya, saya paham bahwa hal tersebut beliau pinta sebagai bentuk kasih sayangnya kepada sesama umat muslim. Itu sebabnya, meski buku beliau tersebar hampir ke seluruh dunia, beliau tidak diuntungkann namun tidak juga merasa dirugikan. Apakah keuntungan dari royalty dari penjualan kitab Riyadhus Shalihin untuk beliau? Atau untuk keluarganya? Suatu perkara yang sebenarnya, sah-sah saja saat keluarga dan keturunannya mengambil royalty dari hasil penjualan kitab tersebut. Tapi itu semua tidak beliau atau keluarganya lakukan.

Suatu hari, saat Imam Nawawi berada dipasar,  peci atau imamah beliau dijambret orang. Sebelum saya melanjutkan kisah ini, saya ingin mengajak sahabat untuk mencoba merefleksikan kondisi tersebut dimana korban panjamretan ini adalah kita. Apa yang akan kita lakukan saat barang berharga yang kita miliki dijambret oleh seseorang? Apakan kita akan mengejar penjamret tersebut? Ya, begitu juga dengan Imam Nawawi. Beliau mengejar penjambret tersebut. Saat dimana sebagian besar orang mengejar penjambret dengan diiringi teriakan, “Jambret … jambret…” atau “Tolong … tangkap … Itu jambret!”, lain halnya dengan apa yang diucapkan oleh Imam Nawawi. Saat mengejar penjambret tersebut, beliau berteriak, “Qul qobiltu … qul qobiltu … qul qobiltu!” Kalimat tersebut bukan berarti jambret dalam bahasa arab. Bukan! Kalimat tersebut berarti, “ Katakan saya terima … katakan saya terima… katakan saya terima!”

Apa maknanya?

Hal ini berkaitan dengan mahzab Imam Syafi’i dalam kaidah hibah yang membutuhkan qabth atau serah terima langsung yang jelas, jika tidak maka hibah tersebut tidak sah. Saat peci atau imamah beliau dijambret, pada detik itu juga beliau sudah mengikhlaskan. Berbeda halnya dengan kita. Kita mengiklaskan setelah dua atau tiga hari mencari tapi tidak ketemu-ketemu. (*Kita? Saya saja mungkin ya :D). Namun, berdasarkan mahdzab yang ia pilih, mengikhlaskan bukan berarti masalah selesai, karena penjembret mengambil peci atau imamahnya secara paksa. Itulah sebabnya Imam Nawawi mengejar pencopet tersebut dan berteriak, “Qul qobiltu … qul qobiltu … qul qobiltu!” agar kaidah hibah itu sah dan sang pencuri tersebut tidak membawa dosa mencuri pada hari kiamat. Ia tidak mau di hari kiamat nanti ada seseorang yang membawa dosa karena menjambret barang miliknya. Itulah  salah satu bentuk kebeningan hati Imam Nawawi rahimahullah terhadap sesama umat muslim. Masya Allah ….

Keikhlasannya dalam menuntut ilmu, kesabarannya dalam menyebarkan ilmu telah mengantarkannya pada amal jariyah yang tidak terputus. Tidak terbayangkan berapa banyak pahala dan seberapa luas barakah-Nya yang ia terima atas ilmu yang ia sampaikan dari satu kitab, Riyadhush Shalihin saja, kitab yang telah dibaca, dipelajari, dikaji dan diamalkan oleh ribuan atau bahkan ratusan ribu umat Islam. Allahu akbar!

*Sumber: Kajian Ketika Pesona Taman Surga Mulai Memudar oleh Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri @ Cipaganti, Bandung.