Rabu, 22 Februari 2023

DUA GARIS YANG DIRINDUKAN 

(Part 1: Awal pernikahan)


Tiga hari menuju anniversary pernikahan kami yang ke-5 tahun ini, saya kembali membuka laman cerita ini. Ternyata, sudah tujuh puluh dua purnama saya lewatkan. Sungguh, sangat lama ya!

Lantas apa yang membuat saya kembali memutuskan untuk mencurahkan isi kepala disini? Setelah sekian lama maju mundur, menata hati dan memberanikan diri untuk berbagi? Tentang kisah penantian yang cukup panjang. Tentang perjuangan yang selama ini kami sembunyikan. Tentang keyakinan bahwa sewaktu waktu Allah pasti akan sampaikan kami pada takdir yang selama ini kami impikan. Harap kami, semoga ada hikmah, inspirasi, semangat yang tersalurkan.


Dua puluh lima Februari 2018 adalah moment pernikahan kami. Dua pekan setelahnya, saya operasi. Jadi, klo pasangan yang lain setelah menikah honeymoon, saya bolak balik RS untuk persiapan operasi dan suami sibuk di sekolah mendampingi siswa untuk perlombaan siswa tingkat provinsi. Btw, operasi apa? Operasi pengangkatan benjolan di leher sebelah kiri. Sebenarnya saya sudah merasakan adanya benjolan sejak awal Desember 2017, tepatnya beberapa hari sebelum saya mendapatkan biodata suami untuk proses taáruf. Namun, karena saya menggunakan jasa BPJS, jadi mendapatkan antrian operasi 3 bulan dari tanggal mendapatkan surat rujukan untuk tindakan operasi atau lebih tepatnya 2 pekan setelah jadwal pernikahan kami.

Tibalah waktu saya untuk operasi. Pengalaman pertama akan dilakukannya tindakan operasi membuat anxiety saya kumat. Yes,  sensinya detak jantung lebih cepat, gelisah, over thinking dan sensi luar biasa lainnya. Malam sebelum tindakan saya bahkan diberikan 1/2 dosis obat penenang agar bisa tidur. Ditemani pak suami dan dijenguk oleh kakak-kakak tercinta cukup membuat saya lebih tenang. Alhamdulillah keesokan harinya operasi berjalan lancar.

Dua pekan setelah tindakan, hasil patologi operasi saya keluar, hasilnya adalah Tubercolosis (TB) kelenjar. Sama dengan pengobatan TB pada umumya, saya diharuskan minum obat antibiotik tanpa henti, tanpa boleh lupa dan tanpa boleh telat selama minimum 6 bulan. Tidak hanya itu, dokter juga menyarankan untuk tidak hamil karena obat-obatan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan janin. 

Setelah 6 bulan saya rajin mengkonsumsi obat TB, tentunya berharap bakteri itu sudah punah dari tubuh ini. Namun ternyata Allah meminta saya untuk tetap bersabar. Hasil USG leher, masih ada bakteri meski memang kadarnya sudah jauh berkurang. Jadi, pengobatan pun dilanjutkan 3 bulan lagi. Huft.....

Tiga bulan saya lewati tambahan masa pengobatan, dan saya dinyatakan sembuh dari TB Kelenjar. Bebas dari rutinitas mengkonsmsi antibiotik yang membuat saya mual dan pusing hampir setiap hari. Sejak saat itu, kami memutuskan untuk mulai memikirikan tentang keturunan. Mulailah kami membaca artikel-artikel, buku-buku tentang program hamil. Bahkan kami tidak sungkan untuk bertanya dan curhat pada kenalan kami yang berprofesi dokter. Namun setelah hampir satu tahun  ikhtiar mandiri atau menuju 2 tahun pernikahan kami, belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Difase itu saya sudah mulai kesal dengan pertanyaan, "Sudah ngisi?" Atau percakapan yang membanding-bandingkan antara saya dengan orang lain yang usia pernikahannya berdekatan tapi sudah hamil dan bahkan sudah melahirkan anak pertamanya. Saran seorang teman kami yang berprofesi sebagai dokter, kami diminta untuk berkonsultasi ke dokter Sp.OG (K). Daaan..... inilah awal kami memeriksakan diri secara medis. Apa yang terjadi? Lanjut part berikutnya yaaa 😊


*Hari pertama haid, setelah telat 5 hari 😭
 Nangis bombay di kamar mandi kantor. Karena berharap di Anniversary yang ke 5 ini, Allah berikan hadiah yang sudah lama kami impikan. Tapi ternyata Allah ingin kami kembali bersabar. 

Setelah tenang berbisik ke dalam diri, "Hanya karena kita lebih lambat dari yang lain, bukan berarti kita tidak akan sampai kan? "TETAP SEMANGAT WAHAI DIRI, ambil nafas...... buang! Huft....