Jumat, 16 Januari 2015

Ribuan Tahun yang Lalu



Ribuan tahun yang lalu
Saat penduduk Thaif melemparimu batu 
Hingga lemah, bersimbah darah
Malaikat Jibril menawarkan untuk mengguncangkan gunung
Sebagai balasan atas sakitmu
Tapi engaku tidak mau

Ribuan tahun yang lalu
Saat Aisyah ra meminta didoakan olehmu
Engkau telah mendoakan kami terlebih dulu
Dalam sholat lima waktumu
Ruku' dan sujudmu hingga subuh
Ada tangis yang tak henti untuk kami
"Ya, Allah. Ampunkanlah dosa-dosa umatku," katamu.

Ribuan tahun yang lalu
Siang dan malam
Engkau risaukan keselamatan kami
Dari tipuan duniawi & kejahatan yang tidak manusiawi
Hingga kehidupan diakhirat nanti

Ribuan tahun yang lalu
Saat engkau mengatakan ingin sekali bertemu dengan saudara-saudaramu
Hingga para sahabat cemburu, "Bukankah kami ini adalah saudara-saudaramu?"
"Kalian adalah sahabatku. Saudaraku adalah umatku yang telah beriman 
tapi belum pernah melikatku."
Rindumu pada kami, diatas sahabatmu sendiri

Ribuan tahun yang lalu
Engkau memohon pada Sang Pengatur Kehidupan
Agar rasa sakit sakaratul maut yang dirasakan umatmu
dilimpahkan seluruhnya kepadamu

Ribuan tahun yang lalu
Engkau tetap mengkhawatirkan kami
Padahal engkau memiliki istri, anak dan sahabat yang engaku cintai
Tapi diakhir hayatmu, justru kami yang engkau panggil dengan lirih
Ummati... Ummati.. Ummati...

Ribuan tahun yang lalu
Engkau cintai kami hingga kini
Melebihi istri, anak, dan sahabatmu sendiri
Bahkan melebihi dirimu sendiri
Ya Rasulullah... Bagaimana kami membalas cintamu ini


*Jumu'ah Mubarokah, 25 Rabiul Awal 1436 H

Jumat, 09 Januari 2015

Beginilah Seharusnya Pecinta



Tsauban, seorang hamba sahaya (budak yang dibebaskan oleh Rasulullah SAW). Tubuhnya kurus, semakin hari  semakin kurus dan pucat, wajahnya menandakan kesedihan yang mendalam. Kondisinya membuat para sahabat khawatir. Beberapa sahabat mencoba untuk bertanya, tapi ia selalu mengelak. Hingga pada suatu kesempatan Rasulullah SAW bertanya, " Wahai Tsauban, apa yang menyebabkan kamu seperti ini. Apakah kamu sakit?"

"Tidak, ya Rasulullah. Saya sesungguhnya tidak sakit. Tubuh ini lemah karena senantiasa memikirkanmu. Karena cinta yang tak tertahankan. Saya mencintaimu, ya Habiballah. Cinta yang melebihi cinta pada diri dan anak sendiri. Saat malam tiba dan saya ada di rumah, saya tidak sabar menanti subuh untuk segera bertemu dengamu. Tidak bertemu denganmu sekejap saja, saya dirundung rasa rindu," ungkap Tsauban.

"Kalo begitu, datanglah saat engkau merasa rindu."

"Ya Rasulullah, di sini saya mudah saja menemuimu. Sholat dibelakangmu, hadir dalam majlismu. Rindu saya akan terobati. Kapanmu saya ingin bertemu denganmu, engkau akan membukakan pintu. Namun, ketika saya mengingat akhirat, saya takut ya, Habiballah. Saya takut tidak dapat melihatmu disana. Saya sadar, engkau pasti akan ditempatkan di surga tertinggi yang diperuntukkan bagi para nabi. Sedangkan saya? Saya Tsauban... Jika saya masuk surga, saya takut tidak dapat melihatmu karena berbeda surga denganmu. Jika saya masuk neraka, saya sangat takut karena tidak dapat melihatmu untuk selama-lamanya."

Karena memikirkan hal ini, Tsauban tidak dapat tidur sepanjang malam, makanan dan minuman terasa hambar. Nafsu makannya hilang. Air matanya terus mengalir karena takut tidak dapat bersama kekasih Allah SWT di akhirat kelak. Baginya, surga dengan berbagai kenikmatan didalamnya tidak berarti jika tidak dapat melihat wajahnya. Wajah Rasulullah SAW... Wajah lelaki terbaik sepanjang masa. Wajah yang senantiasa memancarkan ketenangan bagi yang menatapnya. 

Rasulullah SAW terdiam, tidak menjawab sedikit pun hingga turunlah ayat ini (An-Nisa: 69),

"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-(Nya) mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para Siddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”



Lalu Rasulullah bersabda, "Engkau bersamaku di surga, Insya Allah."

Subhanallah, beginilah seharusnya pecinta. Ia hanya ingin bersama. Ya, bersama. Bersama dengan yang ia cinta. Bahkan surga pun akan terasa hambar saat kebersamaan itu tidak ada. 

Lihatlah bagaimana pasangan suami istri itu memaknai surga dalam rumahnya. Apakah karena rumahnya yang mewah? Suami yang tampan dan perkasa? Atau istrinya yang cantik jelita? Makanan yang melimpah? Cukupkah itu semua? Akankah itu semua menjadi surga jika kekasih belahan jika tidak ada di rumah? Akankah itu semua menjadi surga jika kita tidak dapat melihat wajah dan mendengar suaranya?

Lihatlah bagaimana pasangan yang baru kehilangan suami atau istri yang ia cinta. Saat belahan jiwa tidak lagi bersama. Air matanya tumpah ruah.

Beginilah seharusnya, pecinta. Surganya bukan karena harta, wajah, apalagi pujian-pujian romantika yang terkadang membuatnya lupa dengan Sang Pencipta. 

Ah, saya begitu cemburu pada Tsauban ra. Ia pernah bersama dengan lelaki yang begitu mulia, lelaki terbaik sepanjang masa. Menatap wajahnya, mencium tangannya, merasakan pancaran ketenangan dalam dirinya, tidak hanya di dunia tapi hingga ke langit sana. Sedangkan saya? Saya hanya mendengar dan membaca dari buku-buku yang menceritakan tentangnya, tentang cintanya, tentang pecintanya.

Awal tahun lalu, di depan pusaramu. Air mata itu tidak dapat lagi dibendung. Saya biarkan ia pecah, memohon pertemuan denganmu ya, Habiballah. Saya ingin menatap wajahmu. Sebentar saja... sebentar saja. Agar dapat kurasakan cinta sebagaimana Tsauban mencintaimu. Cinta yang mengantarkan pencinta bersama dengan yang ia cinta, selamanya, hingga ke surga.


*Jumu'ah mubarakah, 18 Rabiul awal 1436 H  Dua pekan setelah kajian bersama Ustz. Halimah @ Masjid BI