Rabu, 29 Agustus 2012

Warna-Warni "Rumah Buku"

Putih, perlahan-lahan hadirlah biru
Masih malu-malu untuk menunjukan diri
Siapa namamu? Dari mana asalmu?
Boleh kuminta nomor hpmu?

Kuning pun bingung
Ia  butuh warna biru, agar hijau
Makan di mana kita hari ini?
Kantin ? Talang?

Merah mulai bergabung
Keceriaannya, membuat suasana kaku menjadi rusuh
Bercerita tentang awal ia bertamu
Kenapa masuk “Rumah Buku” ?
Apa yang menarik ?

Warna-warni bertemu
Saling berkisah tentang “Rumah Buku”
Tak mengenal tempat dan waktu
Di mushola hingga penuh
Di kantin lupa waktu

Ada kalanya kelabu bertamu
Mencoba mengaburkan warna yang telah diramu
Tak apalah
Perpaduan ini akan menjadi lebih seru

Ketika warna-warni bertemu
Berbaur, namun tidak melebur
Melangkah jembatan lengkung sempurna
Indah
Seperti pelangi yang menghiasi senja
Semoga tidak sementara…

 Jadi kita tetap punya PILIHAN

 

Pilihan adalah sebuah kata kunci. Begitu menyadari bahwa kita punya pilihan, kita akan berubah dari objek menjadi subjek. Dalam sebuah percakapan misalnya, “Saya harus pergi” coba katakan, “Saya mau pergi” atau “Saya memilih untuk pergi”, kita akan berubah dari kondisi tak berdaya (powerless) menjadi berdaya (powerful). Tak ada seorang pun yang dapat mengharuskan kita pergi. Ini adalah pilihan kita sendiri. Dengan demikian kita bukan korban, tapi kita sudah menjadi pelaku.

Banyak manusia yang menjalani hidupnya dalam ketidaksadaran. Mereka laksana robot-robot yang dikendalikan oleh orang lain. Saya jadi teringat cerita Anthony de Mello mengenai seorang petani yang suatu hari menemukan telur elang di dekat kandang ayamnya. Karena ia tidak mengetahui telur apa yang sedang dipegangnya, petani tersebut menempatkan terlur tersebut bersama telur ayam yang sedang dierami induknya. Setelah menetas, elang itu hidup dan berperilaku persis sama seperti anak ayam, karena ia mengira bahwa dirinya memang anak ayam.

Pada suatu hari, ia melihat seekor elang yang dengan gagah terbang mengarungi angkasa. “Wow, luar bisa! Siapa itu?” katanya penuh kekaguman. “Itulah elang, raja segala burung!” sahut ayam-ayam di sekitarnya. “Kalau saja kita bisa terbang ya? Luar biasa!” kata si elang kecil. “Ah, jangan mimpi,” kata kawan-kawannya. “Dia adalah makhluk angkasa, sedang kita hanya makhluk bumi. Kita hanya ayam!” Meyakini dirinya hanya ayam, elang itu makan, minum, menjalani hidup dan akhirnya mati sebagai seekor ayam.

Inilah perumpamaan manusia yang terkungkung oleh paradigmanya sendiri dan tidak menyadari bahwa ia memiliki begitu banyak pilihan dalam hidup. Bahkan pada saat ia menjalani “kehidupan seperti ayam” ia sebenarnya “memilih” kehidupan semacam itu. Ia sebenarnya “memilih” untuk tidak memilih.

Sebagian dari kita mungkin akan bertanya, apa benar kita senantiasa memiliki pilihan dalam situasi apapun? Saya akan menjawab dengan sangat tegas, “YA”. Benar, bahwa ada hal-hal yang tak dapat kita ubah, ada hal-hal yang tak dapat kita control. Kita tak selalu bebas menetukan lingkungan kita, tetapi kita senantiasa bebas memilih tindakan dan respon terhadap situasi apa pun.

Kita memang tidak dapat memilih orang tua kita, dimana kita dilahirkan dan seterusnya. Tapi begitu kita sadar bahwa kita punya pilihan, kita dapat memilih mau jadi apa kita di masa depan. Masih ingat dengan kalimat salah satu iklan yang sering di tayangkan di televisi? ‘Menjadi Tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan!’

Kita juga tidak bisa mengontrol krisis ekomoni dan harga-harga yang terus membumbung tinggi, tapi kita bisa memilih cara hidup dan mengelola pengeluaran kita sendiri. Kita memang tidak bisa mengontrol keamanan, tapi kita bisa memilih untuk tidak terlalu sering keluar malam. Dan untuk para akhwat (baca: perempuan), kita memang tak dapat mengontrol kasus pemerkosaan, tapi kita bisa memilih pakaian apa yang akan kita kenakan. Jadi, kita tetap punya pilihan!

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” QS 13:11

Berhentilah Mencari Kambing Hitam



Bercermin dari perilaku sehari-hari kita. Di kantor, atasan kita bertanya, "Kenapa Anda datang terlambat?" Dengan mudah kita menjawab, "Karena jalanan macet!" Di rumah, orang tua bertanya, "Kenapa nilai kuliahnya jelek?" "Karena ujiannya suka ngedadak!" Di liqo-an, ust bertanya, "Kenapa hafalannya g namabah2?" Lagi banyak agenda yang harus segera diselesaikan, ust!" Di kosan, teman bertanya, "Kenapa kamu bermuram durja?" "Ini gara-gara orang itu yang memaki-maki saya!"

Coba simak sekali lagi bahasa yang sering kita gunakan. Kita mengalami masalah. Lantas siapa yang disalahkan? Bukan kita, tapi orang lain atau bahkan situasi yang kita salahkan: jalan macet, ujian mendadak, agenda yang padat, atau bahkan orang yang tidak kita kenal sekalipun. Perilaku demikian sebenarnya tidak beda dengan perilaku anak kecil, dan ini sebenarnya menunjukkan tingkat kedewasaan kita. Benar, sebenarnya apa yang di katakan iklan ..... (*secret, coz g dibayar =D), "Jadi Tua Itu Pasti, Jadi Dewasa Itu Pilihan!"

Salah satu tanda kedewasaan adalah bertanggung jawab terhadap apapun yang kita lakukan. Semua yang terjadi pada hidup kita pada dasarnya mencerminkan pilihan-pilihan yang kita buat sendiri. Kita mengalami kemacetan di jalan? Itu adalah pilihan, karena bukankah kita bisa berangkat lebih pagi? Nilai ujian jelek? Itu adalah pilihan, kenapa kita baru mau belajar saat ada jadwal ujian? Hafalan nggak bertambah? Itu juga pilihan, bukankah kita bisa memanajemen waktu lebih baik? Lantas kalau kita bermuram durja karena dimaki-maki orang, siapa yang bertanggung jawab? Tak lain adalah diri kita sendiri. Orang mungkin memperlakukan kita secara tidak patut, tapi kita bisa memilih untuk tidak sakit hati, bukan?

Menyalahkan orang lain untuk sesuatu yang menimpa diri kita sendiri pada dasarnya adalah menciptakan energi negatif bagi diri kita sendiri, dan itu membutuhkan energi yang besar. Kita akan kehilangan kontrol atas diri sendiri dan menjadi powerless. Kebahagiaan kita tergantung pada orang lain dan situasi yang tak dapat kita kontrol. Dan akhirnya kita menjadi korban, menjadi objek bukan subjek. Sebaliknya, bertanggung jawab adalah perilaku yang menghasilkan energi positif dan efek yang dinamis. Kita yang akan langsung memegang kontrol.

Masalah utama dalam masyarakat kita adalah kebiasaan menyalahkan orang lain. Begitu ada bom yang meledak, kita langsung mencari kambing hitamnya. Tidak puas dengan satu kambing hitam, mencari kambing hitam lain. Dan salah satu hal yang menurut saya memberikan kontirbusi terhadap sikap saling menyalahkan ini adalah pendidikan yang kita berikan kepada anak kita pada usia dini. Seorang anak yang baru belajar berjalan dan terjatuh karena menabrak meja kemudian menangis. Kadang-kadang sebagai orang tuanya seraya berusaha membujuknya, kita memukul meja dan mengatakan, "Meja ini memang nakal!" Sosialisasi seperti ini saya rasa perlu kita hindari.

Namun bertanggung jawab bukanlah berarti melimpahkan kesalahan pada diri kita sendiri. Orang-orang yang memiliki harga diri yang rendah, cenderung menyalahkan diri sendiri atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Begitu terjadi kesulitan, mereka akan langsung menyalahkan diri mereka sendiri, bahwa mereka memang bodoh, mereka memang gagal. Dalam beberapa kejadian, yang memang merupakan kontribusi kita, hal tersebut memang wajar. Tapi menganggap diri sendiri sebagai satu-satunya penyebab kesulitan tersebut tidaklah bijaksana dan tidak pada tempatnya.

Orang yang efektif bukanlah orang yang menyalahkan orang lain, bukan juga menyalahkan dirinya sendiri! (*lha terus salah siapa donk? Ini adalah salah satu bentuk pertanyaan orang yang suka mencari kambing hitam =D). Orang yang efektif adalah orang yang bertanggung jawab. Mereka tahu persis, mana yang merupakan kesalahnnya dan mana yang merupakan kesalahan orang lain. Dalam situasi dimana ia memiliki andil terhadap kesalahan, ia tidak menyalahkan dirinya berkepanjangan, tetapi langsung mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Dalam situasi dimana ia sama sekali tidak terlibat terhadap kesalahan, ia juga tidak membuang-buang energi untuk menyalahkan orang lain. Daripada menyalahkan ia akan langsung memberikan respon yang memperbaiki situasi.

Bertanggung jawab dan bukan saling menyalahkan adalah kebiasaan yang harus kita bangun dari sekarang! (*sepakat?). Dengan bertanggung jawab kita akan mencurahkan energi kita untuk mencari solusi, bukan menghabiskannya untuk menyerang pihak lain (*apalagi klo itu dibuat-buat =D). Sikap ini untuk saya, anda, kita, dan bangsa ini!

Ke Syurga dengan Angkot


Tidak bisa dipungkiri bahwa angkutan kota atau lebih akrab dengan sebutan “angkot” merupakan salah satu kendaraan umum yang menjadi idola bagi sebagian masyarakat di sekitar kita. Kehadirannya senantiasa dinanti, dari pagi hingga malam. Dari sudut daerah hingga ke sudut daerah lainnya. Angkot menjadi idola bukan karena fasilitasnya yang mewah atau kursinya yang empuk, tapi karena jasanya yang bersedia mengantarkan para penumpang ke tempat tujuan dengan bayaran yang relatif murah. Yah, angkot telah menjadi idola tanpa harus berpenampilan “wah”!

Jika kita melihat lebih dalam, angkot tidak sekedar mengantarkan tapi juga memberikan kekayaan pengalaman untuk disikapi. Dari pengalaman yang menjengkelkan, menyenangkan bahkan mengharukan. Disinilah kita bisa menambah khasanah kearifan atas diri kita, dengan mengambil hikmah yang berserakan dimana ia ditemui, tapi jika kita menganggap hal itu biasa atau bahkan tak peduli, maka semua pengalaman itu menguap begitu saja tanpa kesan and forgetted.

***

Hari ini, saya tertegun dengan berbincangan singkat kami (baca: saya , bapak supir dan salah satu penumpang lainnya). Bukan berbincangan soal waktu dan uang setoran yang kami bicarakan disini, atau soal kondisi Kota Jakarta yang banjir belakangan ini, tapi kami bicara soal syurga. Ya Syurga… 

Saat itu, saya duduk di jok depan, dan mencoba menawarkan beberapa permen ke bapak supir.
“Bapak mau permen?” ucapku, walau terkesan basa basi (*atau memang basa basi :p )

“Boleh Mba, ngantuk!” balas pak supir.

Sejenak saya perhatikan suasana angkot, ada 4 orang di jok belakang. Dua orang wanita setengah baya, seorang ibu dan seorang bapak.  

“Mba, dari Harum ya? Abis belajar, Mba?“ tanya pak supir memecahkan perhatian. Wajar jika pak supir bertanya demikian, karena saya tadi memberhentikan angkot tepat di depan Harum, salah satu lembaga pendidikan Bahasa Arab di Jakarta Utara.

“Oh iya, Pak.“ jawab seadanya, lalu saya kembali bertanya “ Bapak asli Jakarta? “

“Bukan, Mba. Saya dari Bantul. Saya di Jakarta sejak tahun 1998. Dari pertama saya di jakarta, pekerjaan saya nggak berubah. Supir angkot! Haha…. Maklum Cuma tamatan SD. Tapi Alhamdulillah, bisa kasih makan istri dan anak-anak. Yang pentingkan halal ya, Mba?!” ungkap pak supir, antara bertanya dan menegaskan. “Dulu pernah ada teman sekampung yang nawarin kerja, Mba. Klo dari penghasilan mah ya lebih enakan disana. Awalnya saya ragu, Mba… Itu pekerjaan halal apa nggak ya? Soalnya hotel tempat dia kerja itu ada tempat untuk orang-orang pada minum, main judi. Akhirnya saya lebih memilih untuk tetap menjadi supir. Saya nggak mau anak dan istri saya terhalang masuk syurga karena saya kasih uang yang tidak halal. Ya, nggak, Mba?“

Belum sempat saya meng-iyakan, tiba-tiba ibu yang duduk tepat di belakang supir pun masuk dalam perbincangan kami.

“Haha… Pak.. Pak! Kadang saya suka bertanya, apa layak orang seperti kita ini masuk syurga? Sholat aja ala kadarnya, puasa cuma di bulan puasa, mau sedekah cari yang recehan. Gimana tu, Mba? Apa layak masuk syurga?”

Hah? Jujur, kaget diberikan pertanyaan seperti itu! Sebuah pertanyaan yang saya sendiri pun tidak tahu, "Apakah sudah layak kita masuk syurga? Dengan amalan ala kadarnya?" Bagiku ini bukan sekedar pertanyaan tapi inilah sebuah tazkiroh yang didapatkan tidak di dalam masjid atau ma’lis, tapi di atas jok angkot. Begitu menusuk.

Beberapa menit saya terdiam tanpa kata, namun sapaan pak supir kembali mengingatkan, bahwa mereka tidak sekedar bertanya. Ada sebersit keseriusan dalam wajah mereka. Tapi saya tetap diam! Akal ini berjelajah mencari jawaban dan kalimat yang pas untuk diungkapkan. 

“Ya Tuhan, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah segala urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha: 27)

“Syurga itu punya banyak pintu, Bu. Ada pintu untuk orang yang menjalankan shalat, ada pintu untuk orang yang rajin berpuasa, ada pintu untuk orang berzakat dan senang bersedakah, ada juga pintu untuk orang yang rajin berwudhu.” sedikit penjelasan saya, ditengah pengharapan bahwa mereka mengerti.

“Lha, kita masuk lewat pintu apa donk? Haha… ” tanya pak supir.

“ Haha.. tenang, Pak. Rasulullah pernah bilang ‘Barang siapa memberi nafkah isterinya di jalan Allah, maka akan dipanggil dari pintu surga’, bahkan ada sahabat rasul yang disebut ahli syurga hanya karena ia memiliki kebiasaan memaafkan kesalahan saudaranya sebelum ia tidur. Jadi, banyak jalan menuju syurga. Nah, tinggal kita pilih deh, kita ke syurga mau dengan apa? Ya nggak, Bu? “ kali ini berharap mendapat dukungan dari ibu dibelakang pak supir =D

Perbincangan kami pun terus berlanjut, hingga tiba di perempatan jalan kramat jaya, tempat dimana saya turun dan melanjutkan perjalanan dengan angkot lain. Dan kembali diri ini dibuat tertegun dengan perkataan pak supir, saat hendak turun dan berusaha memberikan ongkos sebagaimana layaknya kita selesai memanfaatkan jasa angkot.

“Udah… Udah, Mba. Enggak usah. Terima Kasih lho.. tadi obrolannya. Oh ya, ama permennya :)”

“Lho.. Pak. Ini hak bapak lho..” ungkap saya rada memaksa, tidak tega rasanya.. karena sejak tadi isi angkot tidak lebih dari 5 orang penumpang dan jarak mereka pun dekat-dekat. Entahlah, apakah uang setoran hari ini sudah tertutupi atau belum? Saya hanya ingin memberikan hak nya, ya itung-itung untuk menutupi kekurangan uang setoran jika memang belum cukup.

Namun, saya cukup kaget dengan perkatan beliau,“Mba… Udah ongkosnya diambil aja! Saya kan juga pengen masuk syurga, semoga angkot ini bisa mengantarkan saya ke syurga”

‘SAYA JUGA KAN PENGEN MASUK SYURGA. SEMOGA ANGKOT INI BISA MENGATARKAN SAYA KE SYURGA’ kalimat itulah yang membuatku terkesima. Walau entah seberapa besar kadar penjiwaan mereka masing-masing. Biarlah itu soal diri mereka dengan Allah swt. Yang jelas, pengalaman di angkot hari ini adalah perjalanan ruhani yang mengharukan.

Maka jadikanlah shalat dhuha, shalat witir, qiyamullail kita, shaum sunnah, shodaqoh, birul walidain menjadi amalan istimewa kita, yang tatkala kita menghadap Allah swt, setiap pintu di surga memanggil kita agar berkenan masuk melalui pintunya.

Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya 70 ribu atau 700 ribu dari umatku masuk surga. Sebagian dari mereka saling berpegangan dengan sebagian yang lain. Yang pertama di antara mereka tidak mau masuk sebelum yang terakhir di antara mereka masuk. Wajah mereka bagaikan bulan purnama dan bintang yang terang benderang di langit”. (H.R Muslim).

MasyaAllah... Semoga kita termasuk yang 70 ribu atau 700 ribu tersebut, dan semoga kita tak hanya dipertemukan dengan orang-orang yang kita cintai di dunia ini saja, tapi juga dipertemukan kembali dengan mereka pada hari akhir, saat dimana kita bisa saling bergandengan tangan dan berjalan bersama- sama menuju Pintu Surga. Aamiin.. ^_^