Kamis, 26 Januari 2017

Katakan, "Saya terima!"

(Kebeningan hati Imam Nawawi rahimahullah)

 

  

Siapa yang tidak mengenal Imam Nawawi rahimahullah? Imam yang memiliki nama kun-yah Abu Zakaria ini memiliki nama lengkap Yahya bin Syaraf bin Husain An-Nawawi Ad-Dimayqi. Murid dari Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ashari ini lahir pada Muharram  631 H/ 1233 M di Nawa, Damaskus. Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat nama beliau, An-Nawawi Ad-Dimayqi. Beliau wafat sejak 740 tahun yang lalu, namun nama beliau masih harum sampai detik ini.

Imam Nawawi meninggalkan banyak karya ilmiah yang terkenal. Kitab-kitab beliau menjadi best seller sampai sekarang. Riayadhush Shalihin, salah satu kitab dari  empat puluhan karyanya menempati rangking kedua dari segi penyebaran dan pengkajian, hanya kalah dari satu kitab, kitabullah, Al-Qur’an. Karya beliau diterima oleh umat, ilmu beliau sangat bermanfaat. 

Beliau digelari muhyiddin (yang menghidupkan agama), namun beliau tidak menyukai gelar tersebut karena sifat tawadhu, kebeningan hatinya, “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku muhyiddin.” Menurutnya, Islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya.

Pada kata pengantar kitab Riyadhush Shalihin, beliau meminta sesuatu kepada para pembaca. Apa permintaannya? Royalti? Bukan! Lalu apa yang beliau minta kepada kita, para pembaca kitab-kitabnya? Beliau meminta kepada para pembaca untuk mendoakannya, mendoakan keluarganya, dan seluruh umat Islam yang ada. Sekilas saya bertanya dalam hati, "Apa hubungannya menulis buku dengan mendo’akan umat Islam?" Setelah saya menelusuri beberapa buku-buku yang menceritakan tentangnya, saya paham bahwa hal tersebut beliau pinta sebagai bentuk kasih sayangnya kepada sesama umat muslim. Itu sebabnya, meski buku beliau tersebar hampir ke seluruh dunia, beliau tidak diuntungkann namun tidak juga merasa dirugikan. Apakah keuntungan dari royalty dari penjualan kitab Riyadhus Shalihin untuk beliau? Atau untuk keluarganya? Suatu perkara yang sebenarnya, sah-sah saja saat keluarga dan keturunannya mengambil royalty dari hasil penjualan kitab tersebut. Tapi itu semua tidak beliau atau keluarganya lakukan.

Suatu hari, saat Imam Nawawi berada dipasar,  peci atau imamah beliau dijambret orang. Sebelum saya melanjutkan kisah ini, saya ingin mengajak sahabat untuk mencoba merefleksikan kondisi tersebut dimana korban panjamretan ini adalah kita. Apa yang akan kita lakukan saat barang berharga yang kita miliki dijambret oleh seseorang? Apakan kita akan mengejar penjamret tersebut? Ya, begitu juga dengan Imam Nawawi. Beliau mengejar penjambret tersebut. Saat dimana sebagian besar orang mengejar penjambret dengan diiringi teriakan, “Jambret … jambret…” atau “Tolong … tangkap … Itu jambret!”, lain halnya dengan apa yang diucapkan oleh Imam Nawawi. Saat mengejar penjambret tersebut, beliau berteriak, “Qul qobiltu … qul qobiltu … qul qobiltu!” Kalimat tersebut bukan berarti jambret dalam bahasa arab. Bukan! Kalimat tersebut berarti, “ Katakan saya terima … katakan saya terima… katakan saya terima!”

Apa maknanya?

Hal ini berkaitan dengan mahzab Imam Syafi’i dalam kaidah hibah yang membutuhkan qabth atau serah terima langsung yang jelas, jika tidak maka hibah tersebut tidak sah. Saat peci atau imamah beliau dijambret, pada detik itu juga beliau sudah mengikhlaskan. Berbeda halnya dengan kita. Kita mengiklaskan setelah dua atau tiga hari mencari tapi tidak ketemu-ketemu. (*Kita? Saya saja mungkin ya :D). Namun, berdasarkan mahdzab yang ia pilih, mengikhlaskan bukan berarti masalah selesai, karena penjembret mengambil peci atau imamahnya secara paksa. Itulah sebabnya Imam Nawawi mengejar pencopet tersebut dan berteriak, “Qul qobiltu … qul qobiltu … qul qobiltu!” agar kaidah hibah itu sah dan sang pencuri tersebut tidak membawa dosa mencuri pada hari kiamat. Ia tidak mau di hari kiamat nanti ada seseorang yang membawa dosa karena menjambret barang miliknya. Itulah  salah satu bentuk kebeningan hati Imam Nawawi rahimahullah terhadap sesama umat muslim. Masya Allah ….

Keikhlasannya dalam menuntut ilmu, kesabarannya dalam menyebarkan ilmu telah mengantarkannya pada amal jariyah yang tidak terputus. Tidak terbayangkan berapa banyak pahala dan seberapa luas barakah-Nya yang ia terima atas ilmu yang ia sampaikan dari satu kitab, Riyadhush Shalihin saja, kitab yang telah dibaca, dipelajari, dikaji dan diamalkan oleh ribuan atau bahkan ratusan ribu umat Islam. Allahu akbar!

*Sumber: Kajian Ketika Pesona Taman Surga Mulai Memudar oleh Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri @ Cipaganti, Bandung.