Katakan, "Saya terima!"
(Kebeningan hati Imam Nawawi rahimahullah)
Siapa yang tidak
mengenal Imam Nawawi rahimahullah?
Imam yang memiliki nama kun-yah Abu Zakaria ini memiliki nama lengkap Yahya bin
Syaraf bin Husain An-Nawawi Ad-Dimayqi. Murid dari Abdul Aziz bin Muhammad
Al-Ashari ini lahir pada Muharram 631 H/
1233 M di Nawa, Damaskus. Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat nama beliau, An-Nawawi Ad-Dimayqi. Beliau wafat sejak 740 tahun yang lalu, namun nama
beliau masih harum sampai detik ini.
Imam Nawawi meninggalkan banyak karya
ilmiah yang terkenal. Kitab-kitab beliau menjadi best seller sampai sekarang. Riayadhush Shalihin, salah satu kitab
dari empat puluhan karyanya menempati
rangking kedua dari segi penyebaran dan pengkajian, hanya kalah dari satu
kitab, kitabullah, Al-Qur’an. Karya beliau diterima oleh umat, ilmu beliau
sangat bermanfaat.
Beliau digelari muhyiddin
(yang menghidupkan agama), namun beliau tidak menyukai gelar tersebut karena
sifat tawadhu, kebeningan hatinya,
“Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku muhyiddin.” Menurutnya, Islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya.
Pada kata pengantar kitab Riyadhush Shalihin, beliau
meminta sesuatu kepada para pembaca. Apa permintaannya? Royalti? Bukan! Lalu apa yang beliau minta kepada kita,
para pembaca kitab-kitabnya? Beliau meminta kepada para pembaca untuk
mendoakannya, mendoakan keluarganya, dan seluruh umat Islam yang ada. Sekilas saya bertanya dalam hati, "Apa
hubungannya menulis buku dengan mendo’akan umat Islam?" Setelah saya menelusuri beberapa buku-buku yang menceritakan tentangnya, saya paham bahwa hal tersebut beliau
pinta sebagai bentuk kasih sayangnya kepada sesama umat muslim. Itu sebabnya,
meski buku beliau tersebar hampir ke seluruh dunia, beliau tidak diuntungkann
namun tidak juga merasa dirugikan. Apakah keuntungan dari royalty dari penjualan
kitab Riyadhus Shalihin untuk beliau? Atau untuk keluarganya? Suatu perkara
yang sebenarnya, sah-sah saja saat keluarga dan keturunannya mengambil royalty
dari hasil penjualan kitab tersebut. Tapi itu semua tidak beliau atau
keluarganya lakukan.
Suatu hari, saat Imam Nawawi berada dipasar, peci atau imamah beliau dijambret orang. Sebelum
saya melanjutkan kisah ini, saya ingin mengajak sahabat untuk mencoba
merefleksikan kondisi tersebut dimana korban panjamretan ini adalah kita. Apa
yang akan kita lakukan saat barang berharga yang kita miliki dijambret oleh
seseorang? Apakan kita akan mengejar penjamret tersebut? Ya, begitu juga dengan
Imam Nawawi. Beliau mengejar penjambret tersebut. Saat dimana sebagian besar
orang mengejar penjambret dengan diiringi teriakan, “Jambret … jambret…”
atau “Tolong … tangkap … Itu jambret!”, lain halnya dengan apa yang diucapkan
oleh Imam Nawawi. Saat mengejar penjambret tersebut, beliau berteriak, “Qul qobiltu … qul qobiltu … qul qobiltu!”
Kalimat tersebut bukan berarti jambret dalam bahasa arab. Bukan! Kalimat
tersebut berarti, “ Katakan saya terima … katakan saya terima… katakan saya
terima!”
Apa maknanya?
Hal ini berkaitan dengan mahzab Imam Syafi’i dalam kaidah
hibah yang membutuhkan qabth atau
serah terima langsung yang jelas, jika tidak maka hibah tersebut tidak sah.
Saat peci atau imamah beliau dijambret, pada detik itu juga beliau sudah
mengikhlaskan. Berbeda halnya dengan kita. Kita mengiklaskan setelah dua atau
tiga hari mencari tapi tidak ketemu-ketemu. (*Kita? Saya saja mungkin ya :D).
Namun, berdasarkan mahdzab yang ia pilih, mengikhlaskan bukan
berarti masalah selesai, karena penjembret mengambil peci atau imamahnya secara
paksa. Itulah sebabnya Imam Nawawi mengejar pencopet tersebut dan berteriak, “Qul qobiltu … qul qobiltu … qul qobiltu!”
agar kaidah hibah itu sah dan sang pencuri tersebut tidak membawa dosa mencuri
pada hari kiamat. Ia tidak mau di hari kiamat nanti ada seseorang yang membawa
dosa karena menjambret barang miliknya. Itulah salah satu bentuk kebeningan hati Imam
Nawawi rahimahullah terhadap sesama umat muslim. Masya Allah ….
Keikhlasannya dalam menuntut ilmu, kesabarannya dalam
menyebarkan ilmu telah mengantarkannya pada amal jariyah yang tidak terputus.
Tidak terbayangkan berapa banyak pahala dan seberapa luas barakah-Nya yang ia terima atas ilmu
yang ia sampaikan dari satu kitab, Riyadhush Shalihin saja, kitab yang telah
dibaca, dipelajari, dikaji dan diamalkan oleh ribuan atau bahkan ratusan ribu
umat Islam. Allahu akbar!
*Sumber: Kajian Ketika Pesona Taman Surga Mulai Memudar oleh Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri @ Cipaganti, Bandung.