Rabu, 03 Agustus 2016

Sireum di Tanah Serang



Kita percaya bahwa satu langkah kecil yang kita lakukan akan bermanfaat besar untuk masa mendatang. Aksi Relawan Indonesia Mandiri (RIM) di Kecamatan Mancak, Serang (31/07/2016) menjadi saksi bahwa untuk menolong sesama tidak harus menunggu 'punya'. Satu langkah kecil saja, itu sudah lebih dari cukup dari ide besar yang hanya terpasung dalam benak.

Senin, 25 Juli 2016, RIM mendapatkan kabar bahwa kemarin (24/07/2016) telah terjadi longsor yang disertai banjir melanda sejumlah desa di Kecamatan Carita dan Labuan, Kabupaten Pandeglang dan Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang. Salah satu posko program Baktiku Untuk Negeri yang dicanangkan oleh kawan-kawan pun menjadi salah satu titik bencana. Tidak banyak ba... bi...bu... kami memutuskan untuk berangkat ke lokasi bencana pekan itu (30/07/2016). 

Sebelum menuju lokasi (Desa Cikeudung, Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang), kami membagi tugas menjadi 3 tim; Tim Medis, Tim Trauma Healing dan Tim Pembuka Jalan. Trus kamu masuk tim mana, chia? Eits walau saya mudah trauma, tapi saya masuk tim Trauma Healing lho. Kebayang kan kan gimana adik-adik saya yang pegang? Makin trauma lah mereka wkwkwkwk.....

Salah satu kegiatan yang kami (Tim Trauma Healing) lakukan adalah mandi baju bekas. Ide ini terinspirasi dari permainan mandi bola yang terbesit seketika. Saat itu, kami melihat tumpukan sumbangan baju bekas sebanyak satu tenda besar, dan adik-adik asik bermain diantara tumpukan baju-baju tersebut. "Kita kesana yuk! Bikin tebak-tebakan ke adik-adik. Siapa yang tidak bisa jawab kita lemparin pake baju-baju bekas itu. Yang terpenting sekarang kita berbaur dulu dengan mereka, ikuti ritmenya," ungkap salah satu relawan. Beranjaklah kami dari ruang kelas SD Lebak yang dijadikan tempat pengungsian korban longsor menuju tenda, tempat gundukan baju-baju bekas bersemayam.
"Assalamu'alaiku, adik-adik. Siapa yang mau main lempar baju bareng kakak-kakak disini, ayooooooo?"
"Sayaaaaaaaaa......"
Eng ing eng.... permaian pun dimulai. Lihatlah ekspresi keceriaan kami.




Kebayangkan kan yaaaa, gimana debu-debu yang ikutan loncat keluar bersamaan dengan baju-baju bekas yang kami lemparkan? Kibas-kibasin tangan di depan hidung. Oke, fine. Berhubung adik-adik sudah ceria dan menerima kita sebagai kakak yang menyenankan (Ge-eR, wkwkwk), saatnya kita ubah permaian Kami pun mengeluarkan amunisi trauma healing; kertas templte yang bisa dihapus tulisannya, dan spidol warna. Kami meminta adik-adik untuk duduk dan berkumpul di tengah, lalu kami bermain tebak 'Siapakah aku?' Kakak relawan memperagakan dan atau menirukan suara binatang dan adik-adik menebak dan menuliskannya pada kertas yang sudah dibagikan. Beginilah jadinya.....



 
Permainan ini tidak bertahan lama. Berteriak-teriak tanpa toa sambil meragakan nama-nama binatang ditengah puluhan adik, ditemani debu-debu yang ikutan girang dengan kehadiran kami itu sama dengan SERAK, kawan-kawan wkwkwk. Strategi pun diubah. Akhirnya, kami membagi adik-adik menjadi kelompok-kelompok kecil, masing-masing kelompok dipegang oleh seorang relawan. Disana kami bermain sambil belajar sesuai dengan permintaan adik-adik. Ada yang melanjutkan tebak 'Siapa aku?', ada yang belajar berhitung, ada yang belajar huruf abjad, dan ada yang asik story telling. Salah satunya saya, hihiy... Emang, chia bisa story telling? Eits, jangan sedih, ini juga modal nekat, wkwkwk.

Kali ini saya berkisah tentang Nabi Nuh as. Entah kenapa saya merasa kisah ini cocok untuk disampaikan ke adik-adik, selain karena mereka adalah korban longsor dan banjir bandang, kisah ini juga memuat tentang binatang-binatang yang turut serta dalam perahu Nabi Nuh as. Dan adik-adik terlihat antusias ketika kita menirukan suara dan gaya binatang. Benar saja, saat meragakan gajah, ".....hidungnya panjaaang, telinganya lebaaar, badannyaaa.....?" Sontak adik-adik menjawab, "Genduuuuut, hahahaha....." Ups, maaf bagi yang memiliki kelebihan berat badan. Jangan paber, ah! 

Sampai pada saat saya menceritakan tentang segerombolan binatang kecil, hidup berkerumun, suka menolong, dan klo bertemu dengan teman-temannya saling memberikan salam. "Ada yang tau, binatang apa itu?" Tanya saya sambil celingak celinguk memperhatikan ekspresi adik-adik. Mereka berusaha menebak nama binatang yang ceritakan. Nampaknya pertanyaan saya cukup sulit bagi mereka. Ada yang saling menatap (berharap dapat contekan kali yak?), mengadahkan kepalanya ke atas (nyari cicak) dan ekspresi mainstreamm nunduk! Cukup lama saya menunggu jawaban, kemudian samar-samar saya mendengar suara, "Hmm... hmm... itu..., " krik krik krik... hahaha. Tetiba Aep (5 tahun) teriak, "Bebeeeeeek..." Wkwkwk, saya spontan tertawa. Ups, enggak salah sih, bebek juga kan klo jalan tertib. Tapi ngebayangin bebek salaman sama teman seperbebekannya itu bikin saya ngikik...


"Ada yang lebih kecil dari bebek. Dia suka masuk di lubang-lubang tanah. Ayooooo, binatang apa yaaa?"
"Oooh, sireum!" jawab Ridwan.
"Siireeum? Sireum itu apa, ya?" pasang muka blo'on.
"Siireeum... nu aliit, tiasa ti taneh..." Ian bantu untuk menjelaskan. Polos, bahasa sundanya  fasih. Ya sama aja bo ong, atuh kaseeep. Abdi teu ngarti, garuk-garuk tanah di pojokan.

Aisyah yang lebih besar dan paham diantara teman-temannya, senyum tapi terlihat jelas diwajahnya ia geregetan! Akhirnya bilang, "Semuut, kak.....". Lalu kami tertawa, atau lebih tepatnya menertawakan saya. Hukum karma, wkwkwk.

*** Catatan penting sebelum melakukan aksi kemanusian ke daerah. Pelajari bahasa daerah yang dituju. Jika tidak, selamat istiqomah memasang muka cengo.





Kiri-Kanan: Aisyah, Saya, Ridwan, Saipul, Aep, Ian, dan Rifki.

Itu kisah dari tim Trauma Healing. Bagaimana dengan tim Medis dan Pembuka Jalan? Tidak kalah seru tentunya. Turun ke lokasi bencana dengan kondisi jalan yang masih berlumpur hingga setinggi dengkul (katanya, entah dengkulnya siapa :P) dengan sepatu boots yang bukan ukurannya, plus membawa peralatan medis itu bukan perjuangan yang sederhana bukan? Coba saja lihat ini







 

Sebaik-baik perencana 

Setelah semua tim selesai melaksanakan misi kemanusiannya, kami memutuskan untuk kembali ke Jakarta pukul 15.00 Waktu Indonesia Bagian Banten. Qadarullah, kami mendapatkan kabar bahwa ada kendaraan membawa alat berat menuju posko. Rencana kepulangan kami pun tertunda, karena jalur kendaraan hanya cukup untuk satu kendaraan saja.

Oke... acara bebas. Yang mau rehat, silakah rehat disalah satu rumah warga. Yang mau makan mie instan, silahkan pesen diwarung depan posko (*lhoo..). Yang mau berkeliling dan berbincang dengan warga sekitar juga monggo lho ya.

Sampai salah satu relawan PMI, tergesa-gesa masuk posko medik, "Dokter, tolong. Ada warga kecelakaan motor dibawah, sepertinya parah" Seperti biasa, tanpa ba... bi... bu... semua bergerak. Tim medik dengan perlengkapan kedokteran dan obat-obatannya segera menuju ke TKP diikuti dengan Tim Pembuka Jalan yang siap membawa tandu dan mengamankan jalan saat evakuasi korban. Lalu tim Trauma Healing, Ngapain? Nonton lah, wkwkwk.... Enggak gitu juga sih, karena akhirnya kita diminta mengkondisikan anak-anak dan warga yang pada kepo ngerubungin posko kesehatan. Mereka pikir  ini sinetron kali ya? Padahal tadi juga saya ikutan nonton :P. Sampai salah satu relawan berucap lirih, "Oh, ini toh hikmahnya kita tidak jadi pulang jam 3."

Yups, Dia-lah sebaik-baik perencana, mengatur alat berat naik ke lokasi bencana bersamaan dengan rencana para relawan kembali ke Jakarta. Mengatur relawan Daarut Tauhid (DT) untuk bersinergi dengan fasilitas ambulance dan tabung oksigennya. Dia-lah sebaik-baik perencana, menunda kepulangan kami ke Jakarta agar menjadi perantara kebaikan untuk korban kecelakaan dengan apa yang kami punya.  








Mungkin kehadiran kami tak begitu berarti dibandingkan relawan lainnya. Seperti sireum, kami kecil, tak terlihat atau bahkan berpeluang untuk terinjak. Tapi kami tidak lupa bahwa sireum itu selalu bekerjasama, meski beban dipundaknya lebih besar dari badannya, ia akan tetap memanggulnya, bersama. Sireum saling peduli. Kebiasaannya yang selalu menyapa jika bertemu dengan saudaranya adalah bukti bahwa ia memiliki kepedulian dan keakraban yang tinggi. Sireum tidak pernah menyerah. Bila ada yang berusaha menghalangi, ia akan memanjat ke atas, menerobos ke bawah atau berputar mencari jalan keluar, sekuat tenaga.


Inilah kami, yang masih berusaha untuk terus peduli. Seperti sireum di tanah Serang yang senantiasa bekerjasama menyuburkan tanah ibu pertiwi.


*Hari terakhir dibulan syawal, 1437 H.
Setelah sekian lama enggak ngeblog :P
 

2 komentar:

  1. yaampun teh chia gaktau sireum :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Engga tau. Parah emang :p Selain sireum, adik-adik juga nyebutin kata kelik. Pas saya nanya, ada burung lewat. Pas! Jadi adik-adik enggak repot ngejelasinnya. Lemes juga rasanya dapet penjelasan pake bahasa sunda, wkwkwk....

      Hapus